Seseorang dikatakan menjadi
“matematikawan”, dalam hidupnya pasti telah melalui proses yang Panjang dan
juga melelahkan dalam belajar matematika. Mulai dari mengenal 1 apel + 1 apel =
2 apel yang kita pelajari saat TK sampai dengan bahasan-bahasan yang bersifat
abstrak khas aljabar tingkat tinggi. Perlu diketahui, kemampuan pemahaman
seseorang akan berbeda-beda setiap rentang umur tertentu. Khususnya dalam belajar
matematika, misalkan seorang anak usia 4-5 tahun dalam memahami matematika
harus dengan menggunakan hal-hal yang bersifat konkret (bisa dilihat, diraba, dipegang).
Tidak bisa seorang anak usia segitu, diberikan materi yang bersifat abstrak(di
pikiran, tidak bisa dilihat dan diraba) seperti mengajarkan integral, limit,
turunan dll.
Untuk memahami matematika harus disesuaikan
dengan kadar kemampuan pemahaman seseorang masing-masing. Sebuah kewajaran apabila
anak TK tidak bisa paham dengan baik materi matematika tingkat tinggi dan sebuah
kewajaran juga ketika anak SMA dapat paham dan menguasai dengan baik materi-materi
matematika yang abstrak dan sulit. begitu pula kita dalam memahami rizqi yang
diberikan allah pada kita. Seorang dengan kadar imam yang masih kecil akan kesulitan
dalam melihat rizqi-rizqi Allah yang bersifat abstrak. Mereka hanya melihat
rizqi yang bersifat konkret seperti uang, mobil, jabatan dll. Berbeda dengan
orang yang imannya sedang tinggi akan dapat memahami rizqi yang bersifat abstrak,
seperti nikmat keimanan, waktu luang dan sahabat beriman. Padahal, nikmat
tersebut adalah nikmat yang sangat besar sekali dibandingkan dengan uang mobil
dll.
Mencoba memahami rizqi allah SWT agar
kita bisa bersyukur dan tidak kufur akan nikmat allah SWT. Simpel banget kesimpulannya,
jika kita sekarang masih memandang rizqi itu hanya hal-hal yang bersifat
konkrit maka kita mungkin masih setara dengan anak TK ketika belajar matematika.
Anak TK level kognitifnya masih rendah sedangkan kita level keimanan kita yang masih
rendah.