Kita ketika akan menjalankan
suatu ibadah pasti memperhatikan syarat ibadah tersebut sudah terpenuhi atau
belum. Misalkan saat kita akan sholat, kita pasti berwudhu terlebih dahulu. Saat
kita akan zakat mal pasti kita menghitung dulu harta kita sudah mencapai syarat
(nisob) atau belum. Syarat begitu penting dalam menjalankan ibadah, jika syaratnya
tidak terpenuhi, ibadahnya pun tidak akan terpenuhi juga. Maka disamping mempersiapkan
diri untuk menjalankan ibadah, kita juga perlu untuk memperhatikan terpenuhi atau tidak syarat ibadahnya. Sehingga
saat kita telah memenuhi syarat yang ditentukan, disitulah kita baru merasakan
nikmatnya ibadah.
Jika kita perhatikan, konsep logika syarat ini
juga dipakai dalam konteks keseharian kita. Ketika kita kecil apabila datang ke
suatu wahana bermain, kita akan menjumpai tidak semua wahana boleh kita naiki. Biasanya
di wahana tertentu ada syarat yang harus dipenuhi dulu bisa berupa tinggi
badan, berat badan, melepas baju dsb. Saat sekolah diharuskan untuk mengerjakan
ujian sebagai syarat agar dapat naik kelas. Begitu menginspirasinya Islam
sehingga syariatnya dicontoh dan diaplikasikan dalam konteks yang berbeda-beda.
Dari sekian lama kita hidup di dunia,
mau tidak mau kita pasti dihadapkan dengan persoalan-persoalan hidup yang datang
silih berganti. Kadangkala persoalan hidup itu terasa ringan tapi kadang juga
terasa berat. Jika kita beranggapan persoalan itu sebagai beban, maka yang keluar
dari diri kita adalah kebencian dan ketidak adilan. Namun, jika kita pahami
persoalan itu sebagai syarat agar kita bisa “naik kelas” seberat apapun persoalan yang kita jalani yang
keluar dari diri kita adalah kasih sayang dan harapan. Kok bisa? Orang yang logikanya
tertata untuk melihat persoalan hidup sebagai “syarat” akan mempunyai pemahaman
untuk mendapatkan derajat yang tinggi perlu persoalan yang tinggi pula. Tidak adalagi
kata “baper”.
Sebuah matriks dikatakan pantas
mempunyai invers harus diuji dulu kok matriks itu punya determinan atau tidak,
masak manusia enggak mau diuji? Kita sadar bahwa kita ini masih sangat lemah. Kita
juga menyadari diri ini belum kuat untuk menerima persoalan yang begitu berat. Oleh
karena itu mari kita berproses, tidak adalagi kata terlambat untuk berproses. Mulai
sekarang juga, setidaknya kita sudah punya modal awal yaitu niat. Lihatlah kisah
para nabi, mereka di uji dengan ujian super berat sehingga mereka mempunyai
kedudukan yang tinggi di sisi Allah. Tidak perlu menginginkan kedudukan para
nabi, maqom mereka berbeda dengan kita. Ayo kita mulai berlatih hingga suatu
saat kita akan merasa kok hidup kita datar-datar saja ya, tidak ada masalah
yang berarti? Apa sekarang Allah tidak sayang lagi pada kita?